JAKARTA, KOMPAS.com – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merilis temuan hasil pemantauan sidang kasus mutilasi yang terjadi di Mimika, Papua pada 21 Agustus 2022 yang melibatkan anggota TNI.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengatakan, salah satu poin yang dirilis berkait ketidakpuasan keluarga korban atas dakwaan yang dilayangkan Oditurat Militer Tinggi Makassar kepada para terdakwa anggota militer.
“Keluarga korban tidak puas dengan konstruksi dakwaan Oditruat Militer Tinggi Makassar terhadap terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Daki, karena menempatkan Pasal 480 KUHP sebagai dakwaan primer,” ujar Atnike dalam keterangan tertulis, Sabtu (21/1/2023).
Atnike menyebut oditurat juga menempatkan Pasal 365 KUHP sebagai dakwaan petama subsidair, sedangkan pasal pembunuhan berencana 340 ditempatkan sebagai dakwaan pertama lebih subsidair.
“Hal ini berimplikasi pada putusan yang sangat ringan bagi pelaku sehingga kasus (mutilasi) serupa dimungkinkan dapat terulang kembali,” tutur Atnike.
Fakta lainnya, proses peradilan mengabaikan aksebilitas keluarga korban untuk mengikuti tahapan persidangan, khususnya bagi keluarga yang diperiksa sebagai saksi.
Panglima TNI Minta Prajurit Tersangka Mutilasi Mimika Dituntut Maksimal
Selain itu, proses pertanggungjawaban pidana dinilai tidak maksimal karena proses hukum para terdakwa dari anggota militer dan sipil diadili secara terpisah.
“Saksi pelaku sipil juga tidak dapat dihadirkan secara langsung dalam persidangan terdakwa anggota TNI. Selain itu, tersangka sipil hingga saat ini belum menjalani proses persidangan melalui pengadilan umum dan informasi terakhir berkas perkara masih di pihak Kejaksaan Negeri Timika,” imbuh Atnike.
Atnike juga menyebutkan fakta lain, yaitu keluarga dan kuasa hukum korban menilai proses persidangan Mayor Helmanto Fransiskus Daki terkesan dilakukan secara maraton.
Video Pernyataan Mengejutkan Roy Howay Beredar, Sebelum DPO Kasus Mutilasi Mimika Itu Ditangkap Polisi
Padahal proses dan tahapan persidangan harus memberikan waktu yang cukup agar seluruh fakta bisa diuji dengan detil.
Fakta terakhir, Atnike menyebut keluarga korban masih memerlukan perlindungan dan pemulihan dari Lembaga Perlindungan Saksi Korban.
“Mereka memerlukan jaminan perlindungan dan pemulihan dari LPSK selama proses persidangan kasus ini berlangsung,” imbuh Atnike.
Untuk diketahui, pada 22 Agustus 2022 terjadi kasus pembunuhan dengan mutiliasi yang dilakukan oleh empat orang sipil dan enam anggota TN.
Empat korban dibunuh pada malam hari di lahan kosong, tempat sepi dan tanpa penerangan di Distrik Mimika Baru, Papua.
Keempat korban dibunuh dengan tembakan peluru dan ditikam senjata tajam, kemudian dimutilasi untuk menghilangkan jejak.
Jasad para korban yang sudah dimasukkan ke dalam karung kemudian dibawa ke sebuah jembatan di Kampung Pigapu Distrik Iwaka untuk kemudian dibuang ke sungai.
Temuan Komnas HAM dalam peristiwa itu juga menyebut diduga kuat motif pembunuhan adalah terkait bisnis solar yang dijalankan oleh para pelaku.
“Jadi kita temukan memang ada rekanan bisnis terkait solar. Itu tidak hanya drum-drum (yang ditemukan) di tempat lokas mereka rapat dan sebagainya, tapi juga grup WhatsApp yang dalam grup itu juga membicarakan bisnis solar ini,” kata Komisioner Komnas HAM M Choirul Anam, 20 September 2022.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
#Komnas #HAM #Keluarga #Korban #Mutilasi #Mimika #Tak #Puas #dengan #Dakwaan #Oditurat
Klik disini untuk lihat artikel asli