JAKARTA, KOMPAS.com – Enumerator Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2022 Dhinia Eka Wahyuning Resti mengungkapkan dirinya dan ribuan orang lainnya digantung Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) selama satu bulan lebih.
Persoalan ini terjadi lantaran honor bagi enumerator atau surveyor SDKI yang ditentukan oleh BRIN berubah-ubah dan semakin kecil. Hal itu membuat mereka enggan menandatangani kontrak dengan pihak BRIN.
Padahal, kata Dhinia, selama satu bulan tersebut pihaknya menolak berbagai panggilan interview.
“Kami digantung sudah satu bulan. Ada beberapa panggilan interview yang kami tolak demi SDKI dari BRIN ini,” kata Dhinia saat dihubungi Kompas.com, Rabu (9/11/2022).
Dhinia menuturkan, tidak semua ‘calon’ petugas SDKI tahun 2022 merupakan fresh graduate atau baru lulus dari perguruan tinggi. Beberapa dari mereka merupakan peneliti senior yang telah berkeluarga.
“Yang katanya ‘calon’ petugas di sini juga bukan sepenuhnya freshgrad, ada bapak ibu peneliti yang lebih senior dari kami,” tutur Dhinia.
Dhinia membeberkan ketidakjelasan proses persiapan SDKI oleh BRIN.
Mulanya, setelah menerima informasi pelaksanaan SDKI Tahun 2022, berbagai tim riset dari berbagai wilayah di Indonesia mendaftarkan diri.
Mereka kemudian mendapatkan informasi bahwa training akan digelar pada 29 September. Padahal, peserta SDKI tahun 2022 baru diumumkan pada hari itu juga.
“Serba dadakan semua, jadi persiapannya kayak belum lengkap terus ada yang berubah-ubah gitu,” ujar Dhinia.
Adapun pelatihan survei SDKI itu dilaksanakan 7 di training center di Indonesia. Dhinia dan timnya kemudian mengikuti pelatihan di Bali.
Dalam pembukaan pelatihan itu, Ketua Pelaksana sekaligus Sekretaris Deputi Bidang Riset dan Inovasi BRIN membeberkan besaran honor yang akan didapatkan enumerator.
Honor tersebut meliputi uang harian sebesar 70 persen dari uang harian sesuai Standar Biaya Masukan (SBM) per hari masing-masing wilayah, uang transport sesuai SBM, dan penginapan Rp 150.000 per hari.
Selain itu adalah honor Rp 12.500 per satu Blok Sensus (BS) dan honor untuk pewawancara Rp 8 ribu per responden.
Namun, angka tersebut berubah menjadi Rp 50.000 untuk penginapan. Uang honor harian juga berubah.
Sebelum pulang pada 10 Oktober dari lokasi training center, Dhinia dan peserta lainnya menyatakan belum bersedia menandatangani kontrak.
“Kami belum mau tanda tangan kontrak kalau angkanya hanya segitu,” jelas Dhinia.
Mereka meminta besaran honor itu kembali dipertimbangkan mengingat tanggal 13 Oktober mereka sudah harus turun ke lapangan untuk melakukan survei.
Namun, hingga tanggal 13 Oktober, pihak BRIN meminta mereka menunggu hingga awal November karena masih dilakukan beberapa revisi.
Pada awal November, Dhinia dan ‘calon’ enumerator lainnya tidak mendapatkan informasi apapun.
Pada 7 November, pihaknya mengikuti Zoom meeting dengan beberapa pihak BRIN guna membahas metodologi, honor, dan kontrak.
Namun, setelah satu bulan negosiasi, alih-alih besaran honor bertambah jumlahnya justru semakin kecil menjadi Rp 150.000 per hari tanpa uang makan, biaya penginapan, dan transprotasi.
Menurutnya, untuk Wilayah Jawa Timur, besaran itu turun hingga 80 persen dari penawaran awal.
“Itu yang hasil akhirnya Rp 150.000 itu. Itu sudah semuanya, ya kita kan enggak dapat apa-apa,” kata Dhinia.
Mendengar angka honor yang semakin kecil, Dhinia dan rekan-rekannya merasa keberatan. Mereka kemudian menyampaikan protes dalam pertemuan virtual tersebut.
Mereka meminta penjelasan alasan honor SDKI yang semakin kecil. Sementara, mereka membutuhkan biaya penginapan dan kebutuhan operasional lainnya saat survei.
Menanggapi protes itu, kata Dhinia, salah seorang panitia justru emosi. Semua mikrofon peserta Zoom dimute sehingga tidak bisa menyampaikan komentar.
“Panitia dari ini malah marah-marah di Zoom meeting itu,” tuturnya.
“Kami semua mic dimute enggak bisa komentar, enggak bisa apa-apa, grup juga dikunci semuanya jadi kami enggak bisa ngasih aspirasi enggak bisa ngasih saran lagi,” tambahnya.
Menurut Dhinia, hingga saat ini persoalan itu belum terselesaikan.
Ia menyayangkan pihak salah seorang dari panitia yang menyebut ia dan ribuan orang lainnya itu belum bisa disebut enumerator karena baru mengikuti pelatihan.
Padahal, kata dia, para peserta training sudah dibekali ID card, buku materi, dan aplikasi.
“Kami kalau mau teken kontrak kami enggak bisa karena angkanya terus berubah-ubah,” kata dia.
Penjelasan BRIN
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menyangkal informasi tersebut. Menurut dia, saat ini pihaknya baru melakukan perekrutan, pengembangan metodologi, dan pelatihan.
BRIN juga baru akan memutuskan periode waktu pelaksanaan pengambilan data, sehingga belum ada penugasan ke lapangan.
“Jadi intinya mereka baru ‘calon’ petugas dan belum ada penugasan. Jadi mundur dari apa, penugasan saja belum ada,” jelasnya saat dihubungi Kompas.com, Rabu (9/1/2022).
Handoko menjelaskan, pelaksanaan lapangan program SDKI direncanakan akan dilakukan pada awal 2023. Hal tersebut, imbuh dia, agar data dapat konsisten, sehingga fokus pelaksanaan diupayakan sependek mungkin.
Lantaran belum menandatangani kontrak, Handoko menyebut bahwa belum ada nominal honor yang disepakati.
“Karena itu saya kurang paham dari mana bisa terpotong, nominalnya saja belum ada,” katanya.
Selain itu, pihaknya juga belum menentukan personil yang akan terlibat. Sebab, Handoko menegaskan, tidak semua yang dilatih pasti akan ditugaskan.
“Juga belum tahu beban pasti dari setiap tim, jadi belum tahu nominalnya,” tambah dia.
(Penulis: Diva Lufiana Putri | Editor: Inten Esti Pratiwi)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
#Honor #yang #Ditawarkan #BRIN #Turun #Terus #Calon #Enumerator #Protes #Lalu #Dimarahi #Pilih #Mundur #Halaman
Klik disini untuk lihat artikel asli