JAKARTA, KOMPAS.com – Baru-baru ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia menerapkan sistem restorative justice atau keadilan restoratif terhadap kasus pencurian sapi yang dilakukan seorang anak terhadap ibunya di wilayah Asembagus, Situbondo, Jawa Timur.
Penerapan restorative justice dalam penyelesaian sebuah perkara tidak hanya sekali dilakukan.
Sejak tahun 2020 hingga awal Maret 2022, sudah lebih dari 823 kasus diselesaikan pihak Kejaksaan secara restorative justice.
“Semenjak diundangkannya Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, lebih dari 823 tindak pidana umum telah diselesaikan oleh kejaksaan melalui penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif,” kata Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Fadil Zumhana dalam rapat dengan Komisi III DPR, Rabu (23/3/2022).
Bahkan, Jaksa Agung RI Sanitiar Burhanuddin berharap kejaksaan dikenal publik sebagai institusi yang mengedepankan hati nurani dan keadilan restoratif.
Arti restorative justice
Adapun secara prinsip restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana, yang dalam mekanisme (tata cara peradilan pidana) fokus pidana diubah menjadi proses dialog dan mediasi.
Dalam restorative justice, dialog dan mediasi melibatkan beberapa pihak, yang secara umum bertujuan untuk menciptakan kesepatakan atas penyelesaian perkara pidana.
Sejumlah instansi penegak hukum di Indonesia juga memiliki aturan terkait restorative justice.
Kejaksaan Agung memiliki Peraturan Jaksa Agung (PERJA) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Selanjutnya, landasan penerapan restorative justice oleh Mahkamah Agung juga diatur dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum yang terbit pada 22 Desember 2020.
Kemudian Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo menerbitkan surat edaran pada 19 Februari 2021 yang salah satu isinya meminta penyidik mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.
Penerapan restorative justice
Berikut ini deretan kasus restorative justice yang diterapkan Kejaksaan:
1. Anak curi sapi ibunya
Kejaksaan Negeri Situbondo pada bukan Juni ini mengehentikan kasus pencurian sapi yang dilakukan seorang anak terhadap ibunya di Kecamatan Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, secara “restorative justice”.
Adapun tersangka bernama Samsul Bahri alias Baba bin Suroto mencuri sapi dari ibu kandungnya, Miswana, pada 6 April 2022.
“Berkat kebesaran hatinya, korban Miswana, sebagai ibu tersangka, memaafkan perbuatan anaknya sehingga kasus diselesaikan melalui restorative justice,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung RI Ketut Sumedana dalam keterangannya, Senin (13/6/2022).
Saat ini, tersangka Samsul Bahri telah bebas tanpa syarat usai permohonan yang diajukan disetujui oleh Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM-Pidum) Kejagung Fadil Zumhana pada Kamis 9 Juni 2022.
Ketut menyebutkan, alasan pihaknya memberikan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif karena korban adalah orang tua dari tersangka telah memaafkan perbuatan anaknya.
Selain itu, tersangka Samsul Bahri juga disebutkan baru pertama kali melakukan tindak pidana.
“Tersangka di masyarakat terkenal baik dan sering membantu orang tuanya,” tambah Ketut.
2. Penganiayaan pemuda karena utang
Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan menghentikan perkara penganiayaan dengan tersangka Herlambang terhadap rekannya yang terjadi di Setiabudi, Jakarta Selatan pada 20 Maret 2022.
Kasus penganiayaan karena soal utang itu dihentikan setelah Kejari Jaksel mendapat persetujuan dari Kejaksaan Agung RI melalui restorative justice atau keadilan restoratif.
“Maka setelah disetujui bahwa penanganan penyelesaian perkara ini dilakukan melalui restorative justice sebagaimana diatur dalam Peraturan Kejaksaan nomor 15 tahun 2020,” ujar Kepala Kejari Jaksel Nurcahyo saat dikonfirmasi, Jumat (10/6/2022).
Nurcahyo mengatakan, pemberhentian penuntutan perkara penganiayaan itu dilakukan didasari pertimbangan serta melengkapi sejumlah persyaratan. Salah satu syaratnya yakni adanya permohonan maaf tersangka kepada korban yang berujung perdamaian.
“Tersangka ini melakukan tindak pidana baru satu kali. Terus kedua terkait ancaman pidana terhadap sangkaan pasal ini 2 tahun 8 bulan, sehingga tidak lebih dari 5 tahun,” ucap Nurcahyo.
3. Pria pukul adik
Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Tangerang juga pernah menerapkan “restorative justice dalam kasus yang melibatkan seorang pria memukul adiknya di Kota Tangerang pada 9 Maret 2021.
Kepala Kejari Kota Tangerang I Dewa Gede Wirajana menuturkan, tersangka dalam kasus tersebut adalah ES. Sedangkan, korbannya adalah RM, adik kandung ES.
“Kasus penganiayaan yang dilakukan oleh tersangka kepada korban dengan melakukan pemukulan,” ungkap Dewa kepada awak media, Minggu (23/5/2021).
Kasus ini bermula dari ES yang kerap kehilangan uang di rumahnya. Suatu ketika, ES tersulut emosi perihal kehilangan uang itu. Dia lantas hendak memukul iparnya, istri dari RM.
Namun, perkelahian tersebut dilerai RM. Saat melerai perkelahian itu, pukulan dari ES sempat mengenai wajah RM dan menyebabkan lebam di wajahnya.
Berdasar pemeriksaan, Dewa mengaku RM menyesali perbuatan tersebut. Keluarga RM kemudian melayangkan permohonan pengampunan kepada Kejari Kota Tangerang.
Kejari Kota Tangerang, imbuhnya, lantas menerapkan restorative justice dalam kasus tersebut.
Dihubungi secara terpisah, Kasi Pidana Umum Kejari Kota Tangerang Dapot Dariarma menyebut, ada sejumlah syarat lain untuk menerapkan “restorative justice”, selain kesepakatan untuk berdamai.
Beberapa syarat itu, lanjut Dapot, yakni ancaman pidana di bawah 5 tahun dan kerugian yang timbul dari kasus tersebut berada di bawah Rp 2.500.000.
“Syarat itu semua dipenuhi dalam kasus ini, hingga akhirnya kasus bisa selesai sebelum masuk ke pengadilan,” ucapnya.
4. Curi motor untuk biaya persalinan
Kejaksaan Negeri Takalar juga sebelumnya menerapkan restorative justice terhadap kasus seorang pria yang mencuri motor untuk biaya persalinan istrinya.
Kepala Kejaksaan Negeri Takalar, Salahuddin mengatakan restorative justice ini dari kebijakan melalui peraturan Kejaksaan Agung. Syarat yang harus dipenuhi dalam restorative justice yakni, ancaman hukuman tidak lebih dari 5 tahun.
Kemudian, kerugian yang ditimbulkan mencapai Rp 2,5 juta. Selain itu pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana dan adanya perdamaian antar kedua bela pihak.
“Dari perkara tersebut, ada yang memenuhi syarat. Dari situlah kita mencoba mengajukan persetujuan Kejaksaan Agung dan Alhamdulillah setelah kita ajukan Restorative Justice dikabulkan,” ujarnya, Jumat (18/2/2022).
Setelah syarat terpenuhi, Kejaksaan Negeri Takalar diperintahkan untuk memberhentikan tuntutan terhadap Arham pelaku tindak pidana pencurian motor.
Kisah seorang suami nekat mencuri motor demi bisa membiayai persalinan istrinya ini sempat viral di media sosial. Dari video yang beredar, diceritakan kisah seorang pria yang sudah ditahan selama 2 bulan karena mencuri motor.
Ia nekat melakukan aksinya tersebut untuk membiayai persalinan sang istri. Motor yang dicuri adalah milik seorang pedagang sayur. Kemudian motor tersebut digadaikan seharga Rp 1,5 juta.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
#Mengenal #Restoratif #Justice #dan #Deretan #Implementasinya #Indonesia #Halaman
Klik disini untuk lihat artikel asli