JAKARTA, KOMPAS.com – Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menilai akar permasalahan dari kelangkaan minyak goreng dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) adalah disparitas harga yang mencapai Rp 8.000-9.000 per kilogram.
Untuk menghilangkan disparitas tersebut, pemerintah diminta memberlakukan HET hanya untuk minyak goreng curah.
Sedangkan, untuk kemasan premium dan sederhana harga sebaiknya mengikuti mekanisme pasar.
“Untuk menghilangkan disparitas harga minyak goreng yang menyebabkan kelangkaan ini, opsi pertama yang dapat dilakukan pemerintah adalah melepaskan minyak goreng kemasan premium dan sederhana dari kebijakan HET dan ikut mekanisme pasar,” kata Yeka dalam Konferensi pers daring, Selasa (15/3/2022).
“HET hanya berlaku untuk curah dengan jaringan distribusi khusus di pasar-pasar tradisional dengan mekanisme pengawasan yang transparan dan akuntabel,” ucap dia.
Yeka menjelaskan, apabila harga minyak goreng kemasan premium dan sederhana diserahkan sesuai mekanisme pasar, para produsen akan bersaing. Hal ini, ujar dia, dapat menutup celah bagi orang yang mencari keuntungan besar atau spekulan.
“Para spekulan memanfaatkan disparitas harga minyak goreng di pasar tradisional yang sulit untuk diintervensi Pemerintah. Aktivitas spekulan ini juga yang memunculkan dugaan terjadinya penyelundupan minyak goreng,” jelas dia.
Yaka menambahkan, dampak dilepaskannya harga minyak goreng pada mekanisme pasar adalah harga akan naik.
Oleh karena itu pemerintah perlu melindungi kelompok masyarakat yang rentan seperti keluarga miskin dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) melalui mekanisme bantuan langsung tunai (BLT).
“Agar tidak membebankan APBN, untuk keperluan BLT, pemerintah dapat meningkatkan pajak dan levy (pungutan ekspor) produk turunan Crude Palm Oil (CPO),” papar Yeka.
Meskipun Ombudsman menawarkan opsi HET hanya untuk minyak goreng curah, namun kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) tetap dapat diberlakukan untuk menjamin ketersediaan minyak goreng domestik.
DMO adalah kewajiban pemenuhan kebutuhan domestik bagi perusahaan atau kontraktor minyak CPO dalam negeri.
Berdasarkan hasil pemantauan Ombudsman, dugaan penyebab kelangkaan minyak goreng di antaranya adalah perbedaan data DMO yang dilaporkan dengan realisasinya.
Lalu, kebijakan DMO tanpa diikuti oleh mempertemukan eksportir CPO atau olahannya dengan produsen minyak goreng.
Kemudian, masih ditemukan panic buying, serta dugaan adanya aktivitas rumah tangga atau pelaku usaha UMKM meningkatkan stok minyak goreng sebagai respons terhadap belum adanya jaminan ketersediaan minyak goreng, terlebih lagi menghadapi Ramadhan dan Idul Fitri.
Ombudsman pun menyoroti gagalnya fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan Pemerintah dalam mengendalikan harga.
“Fungsi pengawasan akan sulit dilakukan apabila masih terjadi disparitas harga. Alih-alih memperlancar ketersediaan minyak goreng, stok minyak goreng malah langka,” kata Yeka.
“Ombudsman RI meminta Pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap kebijakan mengenai HET, DMO dan DPO,” ucap dia.
Yeka mengatakan, Ombudsman berencana meningkatkan status dari pemantauan menjadi pemeriksaan atas prakarsa sendiri terhadap permasalahan minyak goreng ini.
“Kita akan uji apakah terjadi potensi maladministrasi dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah terkait minyak goreng,” kata Yeka.
“Jika ada, Ombudsman akan menyampaikan tindakan korektif apa saja yang perlu dilakukan pemerintah,” tegas dia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
#Ombudsman #Sarankan #Harga #Minyak #Goreng #Dilepas #untuk #Atasi #Kelangkaan #Halaman
Klik disini untuk lihat artikel asli